Kamis, 25 Agustus 2016

Tak Rela ILC menggiring Opini


Tayangan televisi pada acara ILC menampilkan perdebatan mengenai kenaikan harga rokok. Tak seperti biasanya, saya memang tidak suka menonton ILC yang menurut saya lebih sering dilakukan perdebatan tanpa solusi karena lebih banyak melakukan debat dengan emosi. Lain pada hari ini, pembahasan seputar kesehatan mendorong saya menonton untuk melihat bagaimana pandangan dan potret para stakeholder terkait isu ini.

Dalam hal ini saya tidak berbicara sebagai seorang pakar, namun ingin berbicara sebagai masyarakat dan sebagai seorang mahasiswi pascasarjana FKM UI. Ada beberapa poin yang ingin saya kritik dalam acara ILC malam ini. Selain itu, ada pesan-pesan yang mungkin dapat diambil dari pihak pro dan kontra sebagai pertimbangan masukan dalam menemukan jalan terbaik untuk masalah ini.

Pertama, adanya ketidakseimbangan komposisi penyampaian dari pihak pro dan kontra menimbul informasi tidak seimbang yang diperoleh oleh masyarakat. Kedua, adanya pihak-pihak yang menyampaikan perkataan-perkataan tidak beretika kepada Prof. Hasbullah. Ketiga, alasan-alasan dari pihak kontra cenderung tak logis dan tak memiliki dasar yang kuat.

Kritik pertama saya muncul dari tayangan ILC yang memberikan kesempatan kepada Prof. Hasbullah Thabrany singkat saja kemudian seluruh elemen berkepentingan terhadap rokok angkat berbicara dari sudut yang sama, kepentingan masyarakat miskin (tanpa dasar kepentingan yang mana, keuntungan yang mana dan seberapa signifikan). Berajam-jam menyaksikan, yang ada hanya tanggapan-tanggapan kontra nan emosional seakan sedang membela kepentingan masyarakat dan Prof Hasbullah beserta tim sedang menciderai rakyat. Begitulah opini yang ditimbulkan dari cercaan dan serangan pihak rokok terhadap pakar ahli ekonomi kesehatan. Jelas tak berimbang, berat sebelah. Sebagai orang kesehatan, sudah menjadi tanggung jawab kami untuk menyampaikan kebenaran tentang kesehatan meski itu pahit. Ini pun menjadi bagian dari memperjuangkan kepentingan bangsa. Dari semua tanggapan kontra, bagi saya hampir semuanya tak memiliki dasar yang logis. Salah satu yang logis ialah terkait dengan adanya potensi black market yang dilakukan oleh masyarakat. Mengenai hal ini saya setuju, perlu ada antisipasi terjadinya hal ini dan memang ada potensi akan hal itu.

Kritik kedua, terkait pernyataan tak beretika yang disampaikan beberapa pihak. Saya sebagai anak didik dari Prof Hasbullah Thabrany tidak terima dengan perlakuan pihak tersebut terhadap guru kami. Ini menjadi potret bahwa mereka yang mengatakan sedang memperjuangkan rakyat ternyata orang-orang yang tak beretika terhadap seorang guru. Pernyataan-pernyataan itu tak ingin saya sampaikan disini karena tidak pantas untuk disampaikan. Untuk itu, saya sebagai mahasiswa FKM UI dan mahasiswa di Indonesia sangat menginginkan adanya penertiban acara telivisi yang dapat memberikan dampak buruk terhadap budi pekerti anak bangsa. Apakah ternyata televisi yang mengajarkan anak-anak bangsa tidak sopan terhadap gurunya, seperti maraknya kasus murid terhadap guru saat ini.

Ketiga, alasan-alasan yang disampaikan pihak ketiga cenderung emosional tanpa dasar yang jelas. Mereka mengatakan bahwa memperhatikan kepentingan pekerja rokok namun menyampaikan juga terkait jumlah pekerja rokok yang menurun setiap tahunnya seperti yang terjadi di Kediri dari 40.000 pekerja menjadi 17.000 pekerja. Begitu pula di Kudus ialah 12 % dari jumlah penduduknya yang terkait rokok, 96221 dengan tangan dan 1.990 sudah menggunakan mesin. See? Kedepan siapa yang jamin? Dan coba dilihat mereka makmur tidak sebagai pekerja rokok?petani rokok? Mereka penghasil tembakau tapi justru miskin. Peran pemerintah pun kembali dipertanyakan. Bukankah sumberdaya alam dan isinya untuk kemakmuran masyarakat. Namun mengapa mereka penghasil tembakau tetap menjadi orang-orang miskin, siapa yang memperoleh kemakmuran akan berlimpahnya produksi rokok itu? Pihak kontra selalu membicarakan tentang pekerjaan, kemiskinan yang tak pernah dikaitkan dengan tujuan yang disampaikan oleh Prof Hasbullah yaitu kesehatan dan investasi masa depan. Perdebatan menunjukkan ego yang berbicara bukan perjuangan kepentingan bangsa untuk mencari jalan keluar. Dari pihak kontra mayoritas adalah orang yang tak bergerak dan terlibat dengan masalah kesehatan dan saya pun khawatir mereka adalah para perokok berat yang ingin tutup telinga mengenai dampak besar dari rokok itu sendiri. Dampak yang mengancam masa depan Indonesia.
Dari perdebatan panjang yang melelahkan, saya memperoleh beberapa hal yang perlu digaris bawahi yang beasal dari pendapat-pendapat pro dan kontra.
  1. Pihak rokok menganggap bahwa adanya dana dari Bloomberg Initiative menunjukkan bahwa adanya misi asing dari penelitian. Sejatinya seseorang yang telah melakukan penelitian melakukan proses panjang yang tak mudah. Re-search (mencari kembali) artinya penelitian ialah mencari kebenaran yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan begitulah yang disampaikan Prof Ascobat. Pada pihak yang menuding hal negative tersebut nampak tutup mata pada tujuan penelitian ini yang sesungguhnya, yaitu investasi kesehatan Indonesia. Prof Hasbullah telah menyampaikan bahwa aliran dana yang Bloomberg berikan tidak diminta imbalan ataupun keuntungan yang mereka bawa, murni diberikan sebagai donatur. Sedangkan pada industry rokok? Mereka membawa keuntungan mereka ke negara mereka setelah melakukan investasi. Mengapa tujuan investasi kesehatan ini lah justru yang dianggap kejahatan.
  2. YLKI menjaga konsumen dengan mendukung kenaikan rokok karena rokok bukanlah kebutuhan primer. Ada hak anak-anak, ibu hamil dan orang-orang yang terganggu dengan rokok yang perlu diselamatkan. Jika banyak pihak menuding Bloomberg Initiative sebagai alasan antek pihak asing, lalu apa kabar dengan industry rokok yang diboncengi oleh Philip Moris dll? Dan rokok merupakan produk yang tidak layak guna, bahkan masa expirednya saja tidak ada.
  3. Dari pihak kontra ada yang menyampaikan potensi black market pada masyarakat. Potensi akan membuat rokok yang tidak terstandar BPOM dapat terjadi. Saya juga mengalami keresahan yang sama. Hal ini perlu menjadi perhatian penting saat kenaikan rokok telah diberlakukan, tapi bukan tidak mungkin ada solusinya selama seluruh perangkat daerah dan pemerintah siap bekerja untuk itu.
  4. Dari IDI menguatkan bahwa ini adalah investasi jangka panjang untuk menghasilkan generasi emas yang memang dalam implementasinya tidak cukup dengan menaikkan cukai rokok tapi perlu ada regulasi lain. Adanya asupan nikotin atau kandungan rokok kepada generasi Indonsia dapat mempengaruhi kecerdasan anak bangsa.
  5. Perangkat daerah menyampaikan bahwa pemerintah sendiri masih dilema, adanya perdebatan antara dinas kesehatandan dan tenaga kerja saat membahas terkait hal ini. Adanya perbedaan orientasi menimbulkan sulitnya menemukan solusi. Ini menjadi PR untuk para pemimpin untuk menjadi orang yang mampu melaksanakan good governance.
  6. Pemerintah daerah mengharapkan dilibatkan dalam memutuskan kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pusat. Kebijakan kenaikan harga rokok ini (jika dapat) dilakukan dengan cara lain seperti yang dapat dilakukan sebagaimana pendekatan kereta api yang membuat peraturan sehingga tidak ada lagi yang merokok di kereta api. Jika pun kenaikan terjadi, stabilitas harus tetap terjaga.
  7. Adanya masukan bahwa penelitian yang dilakukan Prof Hasbullah seharusnya tidak hanya dilakukan oleh orang-orang kesehatan namun ikut melibatkan para perokok atau orang-orang yang mendukung industry rokok salah satunya dengan participant observatory agar mereka dapat menerima keabsahan hasil penelitian.
  8. Hal ini merupakan usulan dari pihak akademisi yang bisa jadi dilakukan bisa jadi tidak dilakukan oleh pemerintah karena banyak juga hasil penelitian akademisi yang tidak dijalankan. Nah, sampai kapan mau seperti itu?
Pada akhirnya, saya ingin mengajak semua masyarakat untuk mendorong upaya investasi kesehatan masyarakat di masa depan. Siapa yang telah melihat anak-anak berseragam merokok dengan nikmatnya di jalan? Hampir semua. Kita melarang merokok bukan karena ingin membuat miskin, tapi ingin mengembalikan makanan pokok bangsa ini adalah makanan bergizi bukan rokok!
Beberapa rumah tangga di Indonesia menjadikan salah satu pengeluaran terbesarnya rokok, di sisi lain anaknya tak bisa makan makanan bergizi, tak bisa bersekolah atau bahkan tak bisa berobat. Pengeluaran terbesar rumah tangga adalah rokok, di sisi lain belum ada saya dengar petani tembakau rokok Indonesia yang kaya raya. 

ILC seakan menggiring opini bahwa penelitian terkait rokok yang dilakukan ini memiliki kepentingan politis. Tapi kami percaya, langkah baik memang akan selalu diterpa angin kencang. Maka selagi bangsa Indonesia, kesehatan anak cucu bangsa kita yang sedang diperjuangkan, kita TAK BOLEH DIAM!!
Saya, atas nama bangsa Indonesia mendukung Kenaikan Harga Rokok dan mendukung penyejahteraan petani dan pekerja rokok! Mari temukan solusi terbaik untuk bangsa ini.

Siti Khodijah Parinduri, SKM
Mahasiswa Magister Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI
Penulis Indonesia Positif