Sabtu, 20 Juni 2015

Ujian waktu yg lapang

Setelah ujian bbrp tantangan...kini dihadapkan dengan ujian akan waktu yang lapang. Sudah diisi dgn apa sajakah? Waktu berlalu dan penyesalan pun datang...jika aku tidak disibukkn dengan kebaikan maka kini sedang disibukkan dengan apa? Ya...pdhl pekerjaan banyak, tp malah tak menentu ...uring-uringan, tak mampu melawan diri sendiri. Betulal kalau ujian melalui kelapangan itu lbh sulit dari ujian melalui kesempitan.

Waktu bgitu brrhaga saat sempit..tp waktu tbuang bgitu saja saat lapang. Aku hrs mampu dan bersungguh-sungguh agar lulus dlm ujian ini ...agar hidupku produktif dlm kebaikan..mengejar ketertinggalan..

Kamis, 18 Juni 2015

Aceh Yang Mempesona Tak Habis Oleh Tsunami
Sebuah Catatan perjalanan sang peneliti, Siti Khodijah Parinduri

Aceh Utara, merupakan salah satu kecamatan dari bentangan provinsi Aceh yang masih dalam tanda tanya dan memberikan beribu tanya bagi kami, tapi yang kami tau pasti adalah Aceh Utara bagian dari Indonesia. Sebelum berangkat menuju lokasi tujuan, banyak masukan dan persiapan diri terutama mental karena terdapat beberapa wacana yang kami terima. Mulai dari adanya berita di Koran bahwa telah terjadi penembakan terhadap 2 TNI, baru saja terjadi banjir, hingga kasus AUDEK yang juga terjadi penembakan. Betapa Aceh masih sangat menyimpan banyak tanda tanya bagi kami, dan tentunya berada disana adalah jawabannya. Tanah Aceh yang menyimpan kisah tsunami di bulan Desember 2004 silam dan sangat dikenal dengan sebutan Serambi Mekah dalam keistimewaan sistem religinya.
Perjalanan menuju Aceh dilalui melalui Bandara Soekarno Hatta, untuk sampai di Aceh dapat dilakukan dua kali penerbangan, yaitu melalui Jakarta-Medan-Lhokseumawe ataupun Jakarta-Banda Aceh-Lhokseumawe. Jarak tempuh dari Medan-Aceh Utara sama dengan Banda Aceh-Aceh Utara sehingga kami pun memperoleh penerbangan Jakarta-Medan-Lhokseumawe. Bandara pertama yang menjadi tempat transit kami adalah Bandara Kualanamu Medan kemudian perjalanan dilanjutkan hingga sampailah di Bandara Malikussaleh Lhokseumawe. Sebenarnya masih ada cara lain, yaitu dengan jalur darat dari Banda Aceh ataupun dari Medan, yaitu naik bus yang akan memakan waktu sekitar 8 jam dengan ongkos sebesar 100.000 rupiah. Akan tetapi jalur udara pun mampu mempersingkat waktu tiba di Aceh Utara. Turun dari pesawat menyusuri jalan menuju Desa Sawang, bentangan sawah pun menjadi pemandangan segar, jalan yang masih lengang dan situasi jalan anti macet membuat siapa saja menikmati perjalanan.
Tibalah di kecamatan Samudera, kabupaten Aceh Utara. Rumah Pak Geuchik sebagai bekal tujuan sampai di Desa Sawang, turun di Puskesmas Samudera kami sedikit berharap akan ada yang dapat kembali mengantarkan ke alamat yang dituju, tetapi ternyata puskesmas kosong dan petugas piket pun belum hadir, begitulah setiap Sabtu dan Minggu. Setelah menanyakan salah seorang yang juga sedang menunggu temannya di puskesmas, kami pun direkomendasikan untuk menaiki “RBT” atau biasa kita kenal dengan ojek. RBT pun mengantarkan kami melewati beberapa desa di kecamatan Samudera, hingga sampai di Desa Sawang dengan bermodalkan kedai pak Geuchik akhirnya kami pun sampai. Ongkos yang dibayarkan untuk RBT ialah sebesar Rp.15.000 rupiah. Tapi tenang saja, untuk masyarakat ongkos biasanya adalah Rp.8.000 rupiah sampai di Geudong sebagai pusat kota terdekat.

Melihat Aceh Utara dari Desa Sawang
Desa Sawang yang merupakan bagian dari kecamatan Samudera kabupaten Aceh Utara memiliki luas daerah 194764.3460 m2 Jumlah penduduk Desa Sawang sebanyak 367 KK, 1500 penduduk yang merupakan jumlah penduduk terbanyak di kecamatan Samudera. Desa Sawang dibagi menjadi tiga bagian yaitu Sawang Barat, Sawang Timur dan Sawang Tengah, sedangkan rumah Pak Geuchik berada di Sawang Barat.
Perjalanan pun berjalan mulus, hanya bertanya beberapa kali untuk menemukan kedei pak Geuchik Desa Sawang, karena pengendara RBT yang mengantar kami mengetahui lokasi Desa Sawang meski ia bukan warga sekitar. Begitulah paparannya, “kalau disini sudah saling tau jadi cari alamat gak akan sulit” . Aku yang berada di belakang pun tenang dan asik menghirup udara segar dan pemandangan yang membuat wajah secara otomatis akan tersenyum, membuat semakin penasaran pada Desa Sawang dan tentunya menjadi kebahagiaan di sesi awal. Perjalanan pun menyusuri sawah, tambak, rumah-rumah penduduk dan masjid khas Aceh, pengrajin besi pembuat pisau, hewan-hewan ternak yang bebas berjalan dan gerombolan anak-anak yang bersepeda. Rasa penasaran pun semakin membuat kami tak sabar untuk menemukan Desa Sawang, tempat kami mengenal Aceh Utara lebih dalam.


Gambar 1. Tepi jalan menuju Desa Sawang
Sumber : Dokumentasi peneliti

RBT pun berhenti tepat di depan sebuah kedei, untuk memastikannya turunlah kami dan menanyakan dimanakah kedei pak geuchik Desa Sawang? Dan ternyata Pak Geuchik pun menjadi salah satu dari orang yang kami tanyakan, memang penampilannya agak berbeda karena sudah tidak memiliki kumis tebal seperti pertama kali berjumpa, hehe.. Kami pun membayar RBT dan membawa barang-barang ke dalam kedei. Di kedei tersebut hanya terlihat para pemuda dan bapak-bapak yang sedang menikmati rokok sambil berbincang-bincang. Tak lama aku langsung di antar ke rumah Pak Geuchik dan bertemu dengan bu Geuchik serta keluarga. Pak Geuchik merupakan tokoh masyarakat bagi Aceh, biasa kita mengenal dengan sebutan kepala desa, Pak Geuchik memiliki pengaruh besar di desa terutama dalam hal administrasi seperti pengurusan akte, surat-menyurat, dan kegiatan-kegiatan masyarakat. Bahkan dalam program puskesmas pun pak Geuchik turut berperan.
Menyusuri rumah penduduk yang diberi pagar kayu dan tampak beberapa rumah dengan arsitektur rumah bantuan pasca tsunami dari Jepang, yang biasa disebut rumah IOM. Sebagian masyarakat telah membangun kembali rumah dengan menambah luas dan tinggi rumah bantuan tersebut. Rumah IOM ini terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur dan ruangan depan. Begitu juga dengan rumah pak geuchik yang telah dibangun kembali sehingga lebih besar. Selain rumah IOM, disini juga terdapat rumah PMI, yaitu rumah bantuan dari PMI dan masih ada beberapa rumah panggung peninggalan tsunami yang masih bisa diperbaiki kembali.
Desa Sawang dikenal tiga model rumah, yaitu rumah IOM, PMI dan rumah panggung. Namun, rumah panggung sudah tidak banyak lagi, terdapat hitungan jari. Menariknya dari rumah masyarakat Sawang, hampir setiap rumah memiliki tempat untuk duduk-duk yang terbuat dari bambu atau seperti rumah panggung kecil dan memiliki pekarangan serta tanaman. Jauh dari kesan “crowded” tentunya.



Gambar 2. Rumah Pak Geuchik, Rumah IOM yang sudah dibangun menjadi lebih besar.
Sumber: Dokumentasi peneliti.

Bahasa Indonesia Belum Bersahabat
Setelah sampai di rumah pak Geuchik, menjadi awal perkenalan dengan Desa Sawang. Menyapa anak-anak yang sedang bermain ya tentunya dengan pertanyaan pertama pada umumnya yaitu siapa namanya? Namun tanya tak berbalas. Anak-anak pun menghindar dan tertawa. Begitu juga dengan Bu Geuchik yang tak banyak berkata-kata. Hingga akhirnya pak Gechik pun menyampaikan bahwa Bu Geuchik agak kesulitan dalam bahasa Indonesia sehingga akan jarang berbicara dan aku pun tersadar bahwa alasan tak ada reaksi adalah karena bahasa yang tidak dimengerti.
Bahasa Indonesia ternyata masih dirasa sulit oleh bangsa Indonesia sendiri hingga timbul pertanyaan dari kepolosan seorang anak, kenapa seluruh Indonesia tidak menggunakan bahasa Aceh saja. Bahkan jika membandingkan, salah seorang anak mengaku lebih bisa menggunakan bahasa Malaysia karena belajar dari film kartun kesukaannya. Bahasa Etnis Aceh Utara ialah bahasa Aceh Utara, yang berbeda dengan Aceh Barat, Aceh Timur ataupun Aceh Tenggara meskipun dalam etnis Aceh.
Modal kosakata yang harus dipegang adalah “Han jiet bahasa Aceh” yang artinya tidak bisa berbahasa Aceh ataupun “Hana lon Tupu” yang artinya saya tidak mengerti. Ini sebagai senjata saat ada yang memulai percakapan dengan bahasa Aceh Utara. Alhasil, bahasa isyarat dan senyuman sebagai komunikasi. Syukurnya masih ada beberapa yang dapat berbahasa Indonesia meski masih terbata-bata ataupun harus sedikit berpikir saat mengucapkan sebuah kalimat. Hal ini mendorong peneliti untuk mempelajari bahasa Aceh tentunya, pun mendorong masyarakat mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa persatuan nampaknya belum kokoh mengakar di bumi pertiwi.
Lalu bagaimana dengan sekolah? Ya, hanya di sekolah lah Bahasa Indonesia digunakan, itupun masih percampuran, belum sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Maka, yang telah sekolah hingga SMA tentunya bisa berbahasa Indonesia, atau minimal mengerti. Serta beberapa pemuda yang telah merantau ke Malaysia atau sekitar pulau Sumatera yang biasanya mampu berbahasa Indonesia dengan lancar meski tetap tidak terbiasa.
Timbul kembali pertanyaan, apakah edukasi kesehatan pun dilakukan dalam bahasa Aceh Utara? Ternyata tetap bahasa persatuan lah yang digunakan, bahkan banyak petugas puskesmas pun tidak mengerti bahasa Aceh Utara dan tidak bisa menggunakan bahasa Aceh yang biasa digunakan masyarakat. Hal ini tentu menjadi suatu kekhawatiran bahwa pesan yang disampaikan tidak diterima dengan baik ataupun terjadi miss komunikasi. Dan ternyata memang terjadi.

Antara Kebahagiaan, Kesedihan dan Pengobatan : Sebuah Pembelajaran dari Pantai Sawang
“Jak u pasi…!” begitulah ajakan untuk pergi ke sebuah pantai di desa sawang. Melanjutkan kembali perjalanan di Desa Sawang, kita akan menemukan sebuah keindahan di pagi hari dengan langit birunya dan di sore hari dengan pesona matahari terbenamnya. Kebahagiaan selanjutnya adalah menemukan keindahan Pantai Sawang yang dapat dijumpai hanya dengan berjalan kaki, bahkan jalan menuju pantainya saja sudah memanjakan mata ditambah angin sepoi-sepoi yang bertiup. Indah dan membuat semakin takjub pada penciptaan Nya.


















Gambar 3. Jalan menuju Pantai Sawang.
Sumber: Dokumentasi peneliti




Rekreasi Masyarakat
Pantai Sawang menjadi salah satu tempat rekreasi yang mudah, murah dan mantab. Hari Minggu adalah hari dimana Pantai Sawang ramai oleh pengunjung dan penduduk setempat. Rekreasi yang dilakukan bersama keluarga ini tentunya memberikan kebahagian disela rutinitas harian. Ada yang sekedar berjalan-jalan di tepi pantai, ada yang bermain air, ada yang bermain pasir ada pula yang makan bersama. Kegiatan yang dilakukan tentunya mengundang canda dan tawa. Setelah bermain air, perut pun terasa lapar, jika berjalan ke arah tepi maka akan ditemukan pedagang makanan dan minuman seperti baso bakar, tahu goreng, es kelapa, dan lainnya. Untuk baso bakar dijual seharga Rp.1.000, 00 dan ini juga menjadi jajanan paling banyak diminati.













Gambar 4. Keceriaan anak-anak dan masyarakat sebagai sarana rekreasi di Pantai Sawang.
Sumber: Dokumentasi peneliti.

Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari
Saat berjalan pulang dari pantai, jangan heran ketika menemui sepasang kakek dan nenek yang membawa batang-batang kayu ataupun daun kelapa kering. Setiap harinya beliau membawa batang tersebut yang diambil dari pantai untuk kebutuhan memasak. Masyarakat Desa Sawang memasak dengan menggunakan kayu, daun-daun kelapa kering dan sabut kelapa.



























Gambar 5. Membawa kayu untuk memasak.
Sumber: Dokumentasi peneliti.

Nelayan pun tak ketinggalan, kita akan menemukan kapal-kapal pencari ikan yang baru pulang dari melaut dan membawa ikan untuk makanan sehari-hari. Ikan atau dalam bahasa Aceh disebut uengkot yang paling banyak ditemukan adalah ikan tongkol. Sehingga menjadi makan sehari-hari masyarakat. Ikan ini dijual dengan harga Rp. 5.000 per kilo nya oleh pedagang ikan. Ada juga jala-jala di pinggiran pantai yang digunakan untuk menangkap ikan, udang ataupun kepiting. Namun memang setelah pasca tsunami, tak banyak ikan yang dapat diperoleh nelayan sehingga tak banyak lagi yang menjadi nelayan.

Pengobatan
Pantai Sawang juga menyimpan rahasia kesehatan bagi pengunjungnya. Menjadi obat penghilang jenuh ataupun stress tentu sudah bukan rahasia lagi sehingga sudah menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengelola stress dengan datang ke pantai sendiri ataupun bersama-sama. Menguburkan setengah tubuh di pasir juga dipercaya dapat menyembuhkan kelumpuhan atau kaki yang terasa sakit. Salah seorang yang mempercayai hal tersebut memang mengatakan bahwa dahulu ada yang lumpuh bertahun-tahun, namun setelah menguburkan setengah bandannya di pasir, ia pun sembuh. Semenjak itulah menguburkan tubuh di sekitar pantai tersebut dipercaya berkhasiat menyembuhkan kelumpuhan atau baik untuk kesehatan. Menurut yang melakukannya, saat dikubur terasa kaki seperti diremas-remas dan terasa enak di kaki setelah menguburkannya. Salah satu anak yang baru sembuh karena jatuh pun datang ke pantai untuk mencobanya. Anda pun perlu mencobanya Nah, selain digunakan untuk kaki, lumpur digunakan untuk kesehatan kulit dipercaya menghilangkan jerawat dan memutihkan wajah dengan mengusapkan lumpur di pantai ke wajah atau bagian tangan dan kaki.















Gambar 6.Pengunjung yang mempercayai khasiat menguburkan sebagian tubuh di pasir.
Sumber: Dokumentasi peneliti.

Namun bagi masyarakat Aceh, kesehatan merupakan kuasa Allah swt. segala suatu penyakit akan sembuh atas izin Allah. Berdoa menjadi bagian terpenting dari pengobatan, memohon kesembuhan kepada Allah swt. Segala pengobatan yang dimiliki seperti obat gampong, rajah, dan pengobatan medis adalah jalan ataupun usaha yang dilakukan untuk memperoleh kesembuhan itu.

Pantai Sawang dan Tsunami














Gambar 7. Pantai Sawang dalam kesunyiannya.
Sumber : Dokumentasi peneliti.

Di balik keindahan Pantai Sawang yang membuat kita jatuh cinta menyimpan cerita tersendiri bagi masyarakat. Disinilah kembali terkenang kisah 2004 silam yang menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Saat bencana dahsyat,yang akal manusia tidak mampu menjangkaunya hingga benar-benar terjadi di depan mata mereka. Kejadian Tsunami 2004 lalu tetap menjadi cerita bagi mereka bagaimana Tuhan telah memberikan teguran atas perbuatan manusia. Desa Sawang yang merupakan penduduk beragama Islam ini pun memiliki teungku yang mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat agar menjunjung nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa tsunami menjadi pelajaran berharga sehingga adanya larangan berpacaran di pantai menjadi salah satu upaya pencegahan. Selain itu banyaknya korban yang telah meninggal membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam mencegah penyakit kesurupan. Berjalan sendiri ke pantai bukanlah hal yang lumrah bagi masyarakat karena khawatir menjadi kesurupan. Tetapi tetap saja, Pantai Sawang sungguh memberi banyak kisah dan pelajaran. Inilah Aceh Utara, sebuah Desa Sawang yang membuat jatuh cinta. Melalui Pantai Sawang saja kita dapat mengambil banyak pelajaran dari Aceh Utara.














Gambar 8. Pantai Sawang saat terbenam matahari.
Sumber: Dokumentasi peneliti.